Lagi-lagi
kamu menanyakan pertanyaan yang sama. Ah, seandainya kamu tahu,
pertanyaan itu selalu ingin kuhindari. Bukannya apa-apa, selama ini, aku
sudah terlalu sering mempertanyakan hal yang sama kepada diriku
sendiri. Di setiap waktu luang yang kupunya, di sela-sela bahagia dan
cemas yang terjadi bersamaan, pertanyaan itu selalu muncul memberati
kepalaku.
Jika nanti saatnya tiba, hubungan ini hendak kita bawa ke mana?
Tentu
saja itu bukan pertanyaan retoris untuk sekadar meminta kepastian,
seperti pasangan remaja yang takut tak diakui oleh satu sama lain. Kita
sama-sama tahu bahwa hubungan ini punya masalah yang sangat besar,
terkait soal perbedaan. Aku dan kamu, kita berbeda. Bukan hanya
perbedaan pendapat tentang hal-hal kecil, tapi mereka bilang Tuhan kita
berbeda.
Sedari
awal bertemu, aku tahu kita berbeda. Seharusnya kita sudah paham dan
tak memaksa. Tapi mengapa sulit mengendalikan sebuah rasa?
Sedari awal aku tahu kita berbeda via inpasonline.com
Aku
tak pernah menyangkal bahwa kita berbeda. Aku dan kamu sudah sama-sama
tahu sejak awal. Tanpa diperingatkan oleh banyak orang seperti yang kita
alami dulu, aku dan kamu sudah sama-sama tahu bahwa masa depan kita
mungkin akan mengalami kesulitan. Memang betul. Aku tahu, jika kita
benar-benar bijak, seharusnya kita tak pernah mencoba.
Sebab
barangkali di depan sana, luka yang sangat dalam sudah menunggu untuk
kita rasakan. Jika di tanya, mungkin jawaban kita sama, bahwa jatuh
cinta satu sama lain bukanlah hal yang kita inginkan. Namun apakah jatuh
cinta adalah sebuah pilihan? Kurasa bukan. Perasaan kita tetap tumbuh
subur tak bisa dikendalikan meski kita sama-sama ingin berhenti sebelum
terluka terlalu dalam.
Segala
hiruk pikuk kehadiranmu membuatku melupakan apa itu logika. Hingga jiwa
kita yang masih muda, tergoda untuk menentang apa yang mereka sebut
berbeda.
Aku
pun sempat bertanya-tanya. Kita hidup di dunia yang begitu ramai. Ada
lebih dari satu milyar penduduk dunia, yang beraneka rupanya. Tetapi
kenapa justru kepada kamu aku jatuh cinta. Kamu bukan orang yang
sempurna, aku tahu. Ada hal-hal dari dirimu yang tidak kusukai, tapi
entah kenapa selalu kumaafkan dan semakin lama justru kurindukan.
Barangkali
kamu menemukan hal yang sama dalam diriku. Kamu dan segala kelebihan
dan kekuranganmu, hadir dalam hidupku lantas menjungkir balikkan
hari-hariku. Aku jadi tahu apa itu rindu, cemas, lega, marah, gusar,
takut kehilangan, dan rasa terabaikan. Ya, aku tahu. Kita adalah dua
jiwa muda yang dengan tak tahu dirinya memaksa untuk bersama dan
menentang apa yang mereka bilang berbeda.
Aku
dan kamu sama-sama tahu, bahwa apa yang kita jalani ini bisa berujung
luka. Tapi kuatnya cinta membuat kita sama-sama keras kepala.
Aku
dan kamu juga bukannya tidak tahu. Kita tidak senaif itu untuk
menafikan perbedaan menjadi sesuatu yang tidak akan menjadi masalah.
Bukankah sejak awal kita sudah saling mengingatkan bahwa hubungan ini
bisa berbuah luka? Tapi apa yang kita lakukan? Kita justru saling
tertawa dan bersikeras mencoba.
Kuatnya
rasa yang kita rasakan membuat kita begitu keras kepala. Walau
sesungguhnya hari demi hari bahagia yang kujalani bersamamu, selalu
menyisakan pertanyaan yang tak pernah kutahu apa jawabnya: Apakah semua
ini akan berujung bahagia?
Kita
bisa saja memaksa untuk terus bersama. Toh, hidup ini kita yang
menjalaninya. Tetapi bisakah kau tetap berbahagia, sementara banyak hati
yang terluka?
Tak
usah pedulikan orang lain, begitu katamu dulu. Ya, memang. Kita bisa
saja menjadi anak muda masa kini yang seringnya apatis dan hanya
memikirkan diri sendiri. Toh, hidup ini kita yang menjalani. Sakit hati
ini, kita yang rasakan. Kita bisa saja mengabaikan perbedaan ini, dan
hidup bersama dengan damai dan penuh cinta, meski kita berbeda.
Tapi
lantas kita sama-sama terdiam, memikirkan nurani yang memberontak pada
keputusan. Menonton film tentang cinta beda agama sudah sering kita
lakukan. Favoritmu adalah Cin(t)a, sedang favoritku adalah 3 Hati 2
Dunia 1 Cinta. Tapi inti dari keduanya sama. Apakah kita masih bisa
berbahagia jika begitu banyak orang yang terluka karena kebahagiaan kita
itu?
Aku
sempat punya pertanyaan yang merisaukan. Kamu dan aku sama-sama percaya
bahwa Tuhan itu ada dan Esa. Tapi mengapa mereka menyebut kita berbeda?
Kamu percaya Tuhan?
Tentu saja. Itu pertanyaan macam apa?
Aku juga. Tapi jika kita sama-sama percaya pada Tuhan, lantas mengapa mereka bilang kita berbeda?
Ingatkah
kamu pada pertanyaan yang sempat kita ajukan beberapa waktu yang lalu?
Ya, terkadang di ujung putus asaku pada tanya yang kunjung ada jawaban,
aku mulai sedikit kurang ajar. Benakku berubah menjadi sedikit liar, dan
mempertanyakan hal-hal yang tak seharusnya.
Lantas
aku juga bertanya-tanya, jika memang kita berbeda dan tidak mungkin
bersama, mengapa cinta ini memaksa hadir dan tumbuh hingga sebegini
lama?
Segala
perbedaan ini memang nyata. Aku tak akan lagi mengingkarinya. Aku dan
kamu meyakini Tuhan yang berbeda. Jikalau kita sama-sama berdoa agar
hubungan ini diberi akhir yang bahagia, kita berdoa kepadaTuhan yang
berbeda. Tapi jika memang kita berbeda dan mustahil untuk bersama,
mengapa cinta ini bisa hadir dan tumbuh besar tak terkendali?
Berhari-hari pertanyaan ini menyiksaku, sayang. Aku terus-terusan
bertanya, dari mana datangnya rasa-rasa itu? Dari mana datangnya cinta?
Dan bagaimana cara menghentikannya? Aku tak pernah tahu jawabannya.
Kini
aku sudah mengerti. Barangkali kita berdua, adalah dua orang yang
berbeda, yang kebetulan bertemu pada garis cinta yang sama.
Ibaratnya
saat memilih sebuah film, aku penyuka film drama dengan kisah romantis
yang membuat imajinasiku melambung tinggi. Sementara kamu, kamu penyuka
film komedi yang menghibur hati dan tidak membuat sakit kepala karena
kisah-kisah drama karena hidup sendiri memang sudah drama.
Namun
pada akhirnya kita bertemu di film komedi romantis, yang membuat kita
tertawa dan haru di saat yang sama. Tentu kenyataannya tidak sesederhana
itu. Tapi biarkan aku membuat analogi sederhana tentang kita, tentang
dua manusia berbeda yang kebetulan bertemu di garis cinta yang sama.
Tapi
kini aku juga mengerti, bahwa persoalan di masa depan nanti, cinta
tidak lagi hanya tentang aku dan kamu. Rela atau tidak, kita harus
menerimanya – apapun itu.
Tapi
sayang, semakin lama hubungan kini kita jaga dan pelihara, kita juga
semakin mengerti bahwa banyak hal yang perlu dipertimbangkan selain
kesenangan kita semata. Di masa depan nanti, hubungan ini akan
melibatkan banyak pihak. Pernikahan jelas hal yang paling kita inginkan.
Tetapi saat kita memperjuangkan kesenangan kita dengan menentang
kehendak semua orang, pada saat yang sama kita menyakiti semua orang
yang menyayangi kita. Hubungan ini tidak bisa dikerdilkan menjadi aku
dan kamu saja. Perbedaan yang kita tentang, akan melukai banyak orang.
Meski
akhir yang bahagia belum tentu kita temui, untuk saat ini kebersamaan
layak kita nikmati. Sambil kita pikirkan apa yang akan dilakukan
selanjutnya nanti.
Membicarakan
masa depan memang sedikit rumit untuk kita. Tapi rasa yang kita miliki
saat ini juga bukan bercandaan semata. Ada kala di mana kita sama-sama
lelah memikirkan masa depan, dan memilih untuk menjalani saja apa yang
ada saat ini. Tak apa sayang. Kita tak tahu apa yang akan terjadi di
depan. Toh kita masih sama-sama muda. Sementara ini, mari kita sama-sama
berbahagia, meski barangkali kita sama-sama tahu, ini tak akan
selamanya.
Kita
adalah dua manusia yang dipertemukan pada cinta yang sama. Kita adalah
manusia yang sama-sama tidak tahu bagaimana takdir Tuhan, dan terlalu
percaya diri untuk menapaki apa yang kita sebut cinta. Aku tahu
barangkali ini hanya sementara.
Sebab
kerikil-kerikil kecil di kaki sudah mulai terasa nyeri, dan di depan
sana, mungkin ada tembok tinggi yang menghalangi jalan kita. Sementara
ini, mari kita nikmati saja. Mari kita belajar mendewasakan diri bersama
dan menikmati tawa kita yang berharga. Tapi jika kamu bertanya ini
semua akan berujung kemana, aku juga tidak tahu.
hipweenotes--