“Kapan nikah?”
“Hehe. Hehe. Hehe”
Kami sudah lama
setuju, bahwa pertanyaan seperti ini derajatnya sama dengan pertanyaan
“apa kabar?” yang nggak perlu ditanggapi serius-serius. Ibaratnya
makanan pembuka, kalau di awal sudah berat, nanti pas hidangan utama
datang, kami sudah kehilangan selera. Oleh karenanya, kami berusaha
bersikap biasa saja biar tidak merusak suasana.
Nggak sih, kami
nggak capek ditanya-tanyain kapan nikah. Itu sih udah biasa. Santai aja
kami, mah. Kami juga sering bertanya-tanya sendiri dengan penasaran,
kapan dan dengan siapa sih komitmen kami akhirnya berlabuh.
Selalu ada rasa penasaran. Tapi jujur, kami nggak merasa harus buru-buru kayak dikejar setan
terkadang jadi berbeda, tapi tak apa via alf-img.com
Yang bikin kami
nggak santai itu adalah pemahaman kebanyakan orang yang sepertinya
berbeda dengan kami. Ini rasanya seperti kita bertanya dan menjawab di
dimensi yang berbeda. Jika kamu yang membaca ini mengerti apa rasanya,
berarti kamu adalah bagian dari kami. Outliers. Orang-orang biasa yang
jadi nggak biasa karena belum kebelet menikah di usia 25-an.
Jika kami
memang masih jomblo, orang-orang akan berusaha menabahkan kami dan
mengatakan jodoh kami akan tiba suatu saat nanti. Namun jika kami sudah
punya pasangan dan belum ingin menikah, selalu diwanti-wanti… Janganlah
lebih lama ditunda. Nanti malah nggak jadi.
Padahal saat ini kami memang belum mau terikat, itu saja.
“Gue belom nemu relevansi manfaat nikah dengan kebutuhan gue sekarang.” – (Nitha, 25)
Komitmen bukan
matematika, ia tidak hanya mencakup logika. Keinginan kami biarlah
muncul dari siapnya hati. Bukan cuma dari perasaan takut sendiri
Kita dibiasakan
punya target dan jalan untuk semua hal. Karena itu, hubungan
interpersonal juga ikutan jadi objek ambisi dan obsesi pribadi. Tanpa
sadar, kita jadi lebih fokus mengkhawatirkan apa yang ada di depan sana,
sampai lupa bahwa kita sedang hidup di masa sekarang yang juga harus
dijalankan sebaik-baiknya.
Coba amati,
masing-masing dari kita pasti punya berbagai tipe teman seumuran yang
mau menikah seperti lomba balap karung. Adu cepat sampai jatuh bangun
pun tak apa.
Bagi mereka,
begitulah cara menikmati masa sekarang. Tidak ada yang salah dengan itu.
Yang salah adalah ketika dibandingkan dengan mereka, kami jadi dihakimi
tidak mengerti cara menuju kebahagiaan yang sebenarnya. Lho, yang
menjalani sebenarnya siapa?
Bukannya kami
berpikir menikah cepat itu buruk, tidak samasekali. Kami hanya yakin
bahwa menentukan satu standar yang sama untuk begitu banyak orang yang
berbeda itu tidak adil.
“I guess I
just haven’t met the person whom I am ready to be commited to for the
rest of my life. I think commitment is a great deal.” – (Dana, 25)
Saat ini kami masih ingin bebas saja. Kami mau lebih dewasa. Tak masalah kan dalam prosesnya kami berlama-lama?
Ada situasi
kompleks yang hanya bisa kami uraikan dengan memahami diri sendiri.
Proses mengenal dunia, terlibat dalam perubahan, terasing dalam
ketidaktahuan, kehilangan kontrol diri sendiri kemudian mengendalikannya
kembali. Proses tumbuh berkembang, hal-hal yang menjadikan kita
manusia.
Mencintai, di
sisi lain, adalah hal yang memperkaya proses itu. Kami pernah, sedang,
dan akan terus mencintai. Begitupun dengan anugerah dicintai yang
membuat hidup ini lebih berarti. Terima kasih kepada mereka yang karena
cintanya, membuat kami belajar untuk jadi lebih dewasa.
Hanya saja,
kami mengartikan beberapa hal lebih luas. Cinta tidak eksklusif,
kebalikannya, ia justru sangat universal. Kepada alam, kepada teman,
kepada kerabat, kepada keindahan, kepada Tuhan. Salah jika mengartikan
pernikahan hanya perkara cinta. Karena cinta yang sebenar-benarnya tidak
mengekang, justru membebaskan. Dan saat ini, kami hanya ingin bebas.
“Sampai saat
ini aku masih happy dengan hidupku, masih merasa perlu ruang untuk
mengembangkan diri. Sebelum selesai dengan itu nggak adil rasanya kalau
bawa orang baru masuk.” – (Tulip, 26)
Seumur hidup kami
belajar dan diajarkan untuk menghargai pilihan. Jika kami memilih orang
dengan cepat, kami takut tidak sempat bertemu orang yang tepat
Banyak orang
yang datang dan pergi. Beberapa tetap tinggal sebagai memori yang indah,
beberapa lagi berakhir di sudut yang tidak ingin kami sentuh lagi.
Hidup ini
mengajarkan kami bahwa setiap pilihan yang kami ambil memiliki
konsekuensi. Dari situlah kami belajar memikirkan semua hal, termasuk
apa-apa saja yang kami dapat dan kami tinggalkan. Terkadang sulit, tapi
sakit lebih baik daripada tinggal di situ-situ saja. Kami tahu kami
berhak mendapat yang lebih baik dari itu.
Pasangan yang
menemani adalah yang terbaik pada masanya. Namun jauh di lubuk hati ini,
kami mengerti, masa-masa terbaik pun bisa berakhir dan menguap
seketika. Oleh karenanya, kami tidak meminta banyak, hanya sandaran hati
yang tepat untuk membuat pilihan bersama-sama, dengan setara.
“Ini bukan alasan tapi pilihan. Tidak dengan sengaja mencari pasangan untuk menikah karena memang tidak menargetkan di umur berapa harus menikah.” – (Devina, 27 tahun)
Hidup bukan cuma soal menikah. Kami merana? Ah, kata siapa?
Sumpah, kami
nggak merana. Setiap waktu yang bergulir adalah momen yang berharga.
Karena kami belum terlalu pusing dengan urusan sewa gedung nikah,
souvenir, undangan, fitting baju dan segalanya, kami punya waktu lebih
banyak untuk yang lainnya. Mulai dari malas-malasan, mempelajari skill
baru, sampai menikmati tumbuh bersama orang-orang terdekat.
Kami masih
belum mau berpisah dengan mimpi-mimpi yang sangat banyak. Kami sibuk
memperbaiki diri dan mencari peran agar berguna bagi dunia dan seisinya.
Mungkin itulah mengapa, walau kami masih hidup sendiri, hati kami selalu terasa penuh dan tidak kekurangan.
“Life is not just about getting married, right?” – (Citra, 29 tahun)
Semua terdengar seperti pembenaran. Mau tahu alasan sebenarnya?
Alasan
sebenarnya adalah kami belum mau saja. Tidak ada gunanya memaksakan
sesuatu gagasan pada seseorang yang memang belum atau tidak ingin
melakukannya, bukan?
Tenang saja.
Kami pun manusia biasa yang tidak ingin hidup sendiri selamanya. Suatu
saat kami akan tahu ketika waktunya sudah tiba dan kami siap menikah
dengan orang yang tepat di waktu yang tepat. Kami yakin akan hal itu.
Namun saat ini, biarkanlah tetap seperti ini. Semoga kalian bisa
mengerti.
gelombang.org